Media sosial Twitter dan
Facebook sejak Minggu (21/9/2014) diramaikan oleh sebuah perdebatan
Matematika, tepatnya tentang operasi perkalian.
Persoalan dimulai dari posting Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa Jurusan Teknik
Mesin Universitas Diponegoro. Erfas yang membantu adiknya mengerjakan
tugas Matematika mempertanyakan alasan guru menyalahkan jawaban sebuah
soal.
Dalam soal tugas itu, guru meminta adik Erfas untuk menyatakan 4+4+4+4+4+4 dalam operasi perkalian.
Adik
Erfas menuliskan jawaban bahwa 4+4+4+4+4+4 = 4x6. Jawaban itu, menurut
Erfas, seharusnya benar. Namun, ternyata sang guru menyalahkan. Menurut
guru, jawaban yang seharusnya adalah 6x4.
Karena posting Erfas, muncullah perdebatan seru di media sosial. Mana yang benar, 4x6 atau 6x4?
Saking
serunya perdebatan, profesor Matematika dari Institut Teknologi
Bandung, Iwan Pranoto, pun turut berkomentar. Ia memberi sedikit kultwit
untuk menjelaskan permasalahan itu.
Menurut Iwan, 4x6 ataupun 6x4 sebenarnya sama. Namun, bisa saja salah bila dilihat dalam konteks tertentu.
Iwan
memberi ilustrasi. Ia mencontohkan, bila pertanyaan guru adalah "Jika
2x3 = 3+3, tentukan 3x4", maka jawaban yang seharusnya adalah 4+4+4.
"Jika dengan pertanyaan ini anak jawabnya 3+3+3+3, barulah salahkan,"
katanya lewat akun Twitter-nya.
Namun, Iwan mengungkapkan, bila pertanyaannya hanya 3x4, maka anak bisa menjawab 3+3+3+3 atau 4+4+4. Semuanya benar.
Dengan
demikian, didasarkan pada pendapat Iwan, 4+4+4+4+4+4 bisa saja
dinyatakan 4x6 atau 6x4 dalam operasi perkalian. Jawaban adik Erfas
dalam tugas Matematika-nya seharusnya tidak disalahkan.
"Cara bertanya guru Matematika di Indonesia mungkin salah. Juga cara mengoreksinya salah," katanya.
Iwan
mengatakan, saat ini dibutuhkan pembenahan sikap, budaya, dan cara
berpikir guru Matematika. "Mengubah sikap guru Matematika yang luwes
bernalar merupakan tantangan bagi institusi penyiapan guru kita, LPTK,"
ungkapnya.
Dalam Matematika, kata Iwan, tidak ada kebenaran, yang
ada kesahihan. Jika penalaran sahih, maka bisa diterima walaupun
kesimpulannya aneh.
Akar perdebatan Matematika ini bisa jadi
adalah kebiasaan untuk hanya menerima pengertian tunggal, ditetapkan
oleh penguasa. "Kita tak berdaya menentukan sendiri," kata Iwan.
Iwan
menerangkan, tak cuma dalam perkalian. Dalam pembagian pun dikenal dua
pengertian berbeda, misalnya, 125 ÷ 5 tentunya lebih cocok diartikan
sebagai partisi. Sedangkan 125 ÷ 25 tentunya lebih cocok dinyatakan
pengurangan berulang.
Jika itu sama untuk apa dipersoalkan :D
Gilang Syahputra